Jumat, 09 Desember 2011

Kondisi Perekonomian Indonesia



Kondisi Perekonomian Indonesia



Kondisi perekonomian dunia dikhawatirkan akan benar-benar menuju jurang resesi jika tidak segera dilakukan upaya-upaya konkrit untuk mengatasi keadaan ini. Perkembangan harga minyak dunia cenderung terus melonjak bahkan sempat melampaui US$ 145 per barrel, sementara harga komoditi pangan juga terus meningkat. Hal ini menyebabkan ancaman stagflasi – yaitu situasi dimana pertumbuhan ekonomi sangat lamban, tetapi diikuti oleh tingkat inflasi yang sangat tinggi – bisa menjadi kenyataan. Perekonomian dunia diprediksi hanya akan tumbuh sekitar 1,8 persen pada tahun 2008, yang merupakan suatu penurunan yang cukup drastis dibandingkan dengan angka pertumbuhan sebesar 3,8 persen pada tahun 2007. Sementara itu akibat krisis keuangan dan krisis perumahan di Amerika Serikat, berbagai faktor lain juga bermunculan mengiringi ketidakseimbangan global. Terus anjloknya kurs dollar Amerika Serikat dan memburuknya krisis kredit di negara-negara industri semakin memperburuk keadaan dan menyebabkan perekonomian dunia berada dalam ketidakpastian yang mengkhawatirkan. Meskipun beberapa negara di Eropa dan Jepang, serta sejumlah negara berkembang bisa tetap menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia, namun dampak penurunan perekonomian Amerika Serikat tetap cukup besar dalam mempengaruhi perekonomian global akibat contagion effect pada banyak negara di dunia.


Dalam hal perekonomian nasional, meskipun dampak sosial kenaikan harga BBM pada 24 Mei 2008 tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi negara secara keseluruhan, namun dampaknya terhadap perekonomian sangatlah besar. Tingkat inflasi diperkirakan akan mencapai double digit, yaitu sekitar12,5 persen, di saat daya beli masyarakat masih dalam kondisi sangat tertekan akibat melonjaknya harga komoditi pangan akhir-akhir ini. Tingkat pertumbuhan ekonomi dipastikan tidak akan mencapai target APBN sebesar 6,4 persen, tetapi paling tinggi akan berada di sekitar 6 persen untuk tahun 2008. Sedangkan APBN tetap belum bisa dikatakan aman, karena selain masih mengandung beban defisit sebesar Rp 82,3 triliun untuk tahun 2008, juga tetap dibayang-bayangi oleh kenaikan harga minyak

dunia yang masih terus bergejolak hingga saat ini. Adanya kekhawatirkan bahwa harga minyak mentah dunia bisa menembus angka US$ 200 per barrel di akhir tahun 2008 bukanlah suatu hal yang berlebihan, melihat kondisi kondisi pasar uang dan pasar komoditi dunia yang semakin tidak terkendali akhir-akhir ini.
Meskipun pada triwulan I 2008 pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 6,3% secara year on year, namun secara triwulanan hanya tumbuh sekitar 2,1 persen terhadap triwulan IV 2007. Pertumbuhan ekonomi tersebut hanya bertumpu pada kegiatan ekspor, karena dari empat komponen pengguna Produk Domestik Bruto (PDB) hanya ekspor yang tercatat positif, yaitu sekitar 5,7 persen. Sedangkan investasi fisik (Pembentukan Modal Tetap Bruto) mengalami kontraksi sekitar 0,6 persen, dan pengeluaran konsumsi masyarakat turun sekitar 0,4 persen akibat turunnya daya beli di awal tahun 2008 ini.

Sementara itu secara sektoral, pendukung utama pertumbuhan adalah sektor pertanian, yang tumbuh sebesar 18 persen pada triwulan I 2008 (terhadap triwulan IV 2007). Sedangkan sektor industri pengolahan mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar -0,1 persen, meskipun secara year on year (triwulan I 2008 terhadap triwulan I 2007) menunjukkan pertumbuhan sekitar 1,2 persen. Tingginya pertumbuhan pada sektor pertanian dimungkinkan tidak saja karena faktok musiman (terjadinya panen raya pada bulan Maret), tetapi juga didukung oleh kenaikan harga komoditas pertanian dan perkebunan yang melonjak secara sangat berarti.

Tekanan eksternal, kenaikan harga BBM, dan gangguan pasokan barang-barang kebutuhan pokok telah mengakibatkan kenaikan inflasi telah mencapai angka dua digit pada akhir bulan Juni lalu. Pada Juni 2008 angka inflasi mencapai 2,46 persen, sehingga secara kumulatif pada Januari-Juni 2008 telah mencapai 7,37 persen, dan inflasi year on year


tercatat sebesar 11,03 persen. Laju inflasi yang tinggi terutama disumbang oleh kelompok pengeluaran Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan yang mencatat inflasi sebesar 8,72 persen pada bulan Juni 2008. Kemudian diikuti oleh kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau, dimana laju inflasi pada kedua kelompok pengeluaran ini pada bulan Juni 2008 masing-masing mencapai 1,28 persen dan 1,33 persen.

Inflasi Bulanan, Tahun Kalender, Year on Year,
Tahun 2006–2008
Inflasi
2006
2007
2008
(2007=100)
(1)
(2)
(3)
(4)
1. Juni
0,45
0,23
2,46
2. Januari–Juni
(Tahun Kalender)
2,87
2,08
7,37
3. Juni terhadap Juni
(year on year)
(tahun n) (tahun n-1)
15,53
5,77
11,03

Meskipun mengalami sedikit tekanan akibat terjadinya gejolak pada pasar modal dalam dan luar negeri, secara keseluruhan kurs rupiah tidak berfluktuasi secara berlebihan sampai pertengahan bulan Juli ini. Sebagai lembaga yang bertugas menjaga laju inflasi dan menjaga stabilitas kurs mata uang rupiah, Bank Indonesia berhasil menjaga nilai rupiah pada level yang cukup kredibel dalam pandangan para pelaku ekonomi. Dalam menjaga rupiah, Bank Indonesia terus melakukan intervensi terhadap kurs rupiah demi kenyamanan para eksportir dan para importir melakukan kegiatan usahanya.


Selain itu Bank Indonesia juga telah mengantisipasi kemungkinan dampak dari naiknya inflasi akibat kenaikan harga BBM. Dalam menjaga kemungkinan melonjaknya inflasi tersebut, Bank Indonesia telah tiga kali menaikkan suku bunga acuan BI-rate sejak bulan Mei lalu, sehingga dewasa ini BI-rate kembali berada pada level 8,75 persen. Hal ini diharapkan dapat menahan keluarnya dana dari Indonesia, yang berpotensi menurunkan kurs rupiah jika suku bunga riil dalam negeri mengalami penurunan. Dengan suku bunga BI-rate sebesar 8,75 persen dan laju inflasi sebesar 11,03 persen, saat ini suku bunga riil di Indonesia memang sudah menjadi negatif.
Sempat melemahnya rupiah ke level Rp 9.376 per dollar AS pada 27 Mei lalu sempat menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku ekonomi. Kekhawatiran terhadap terganggunya stabilitas moneter muncul bersamaan dengan meningkatnya angka inflasi pada bulan Mei lalu. Untungnya, Bank Indonesia kembali berhasil membawa kurs rupiah ke tingkat yang lebih aman. Intervensi pasar terhadap rupiah berkali-kali dilakukan demi terjaganya nilai rupiah yang realistis, meskipun kebijakan ini membawa konsekuensi pada menurunnya cadangan devisa. Posisi cadangan devisa yang pada 23 Mei 2008 tercatat sebesar US$ 58,8 miliar, turun hampir sebesar 2 miliar pada 6 Juni 2008 lalu, yaitu menjadi US$ 56,9 miliar. Untungnya kembali meningkat menjadi sekitar US$ 59,5 miliar pada akhir Juni 2008 lalu.


Sementara itu, terus menurunnya kinerja pasar modal Indonesia sejalan dengan menurunnya kinerja pasar modal global. Sejak 20 Juni 2008 indeks Dow Jones terus terkoreksi tajam, sehingga pada 9 Juli 2008 berada pada level 11,147.44, atau mengalami penurunan sebesar 11,8 persen terhadap level 12,638.32 pada akhir Mei 2008. Dalam kurun waktu yang sama indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia juga mengalami penurunan sebesar 6,48 persen, yaitu dari 2,444.35 pada akhir Mei 2008 menjadi 2,286.03 pada 9 Juli 2008 lalu. Selain dipengaruhi oleh melemahnya bursa global, penurunan IHSG juga dipengaruhi oleh reaksi negatif pasar terhadap tingginya tingkat inflasi dalam dua bulan terakhir ini. Angka inflasi yang mencapai 1,41 persen pada bulan Mei dan sebesar 2,46 persen pada bulan Juni lalu telah menimbulkan kekhawatiran pada para pelaku pasar.
Selain itu, naiknya suku bunga SBI dan suku bunga deposito yang ditawarkan sektor perbankan, diperkirakan juga telah merubah portolio investasi di kalangan para investor. Yaitu dengan mengalihkan sebagian dananya dari pasar modal ke deposito atau obligasi.


Terjadinya defisit sebesar US$ 524,1 juta pada neraca perdagangan di bulan April 2008 lalu cukup memprihatinkan. Defisit ini dipicu oleh turunnya kinerja ekspor nasional ditengah tingginya harga minyak dan beberapa harga komoditas dunia. Padahal pada bulan sebelumnya neraca perdagangan masih mencatat surplus sebesar US$ 1,89 miliar. Defisit yang terjadi pada April 2008 disebabkan nilai total ekspor hanya mencapai US$ 10,97 miliar atau turun sekitar 7,8 persen dari nilai ekspor pada Maret 2008 sebesar US$ 11,9 miliar. Sementara nilai impor meningkat sebesar 14,9 persen dibandingkan impor bulan Maret 2008, yaitu dari US$ 10,01 miliar menjadi US$ 11,50 miliar.
Untungnya, sejalan dengan meningkatnya volume ekspor minyak mentah dan hasil minyak masing-masing sebesar 18,63% dan 18,31%, nilai ekspor kembali meningkat secara berarti pada bulan Mei lalu. Pada bulan Mei 2008, nilai ekspor mencapai hampir US$ 12,888 miliar atau naik sekitar 17,5 persen terhadap nilai ekspor bulan April 2008. Dengan nilai impor sekitar US$ 11,658 milar maka pada bulan Mei 2008 neraca perdagangan Indonesia kembali mencatat surplus sebesar US$ 1,23 miliar.
Surplus tersebut diperoleh dari surplus neraca perdagangan non migas yang mencapai US$ 1,283 miliar, karena neraca perdagangan migas mulai mencatat defisit sebesar US$ 52,7 juta. Hal ini menunjukkan bahwa era migas telah menjadi masa lalu bagi perekonomian Indonesia. Dewasa ini kinerja ekspor Indonesia terselamatkan oleh lonjakan harga minyak sawit mentah (CPO), yang menyebabkan komoditi ini menjadi penyumbang utama ekspor non-migas Indonesia. Pada tahun 2007 nilai ekspor CPO dan produk turunannya mencapai US$ 10,23 miliar atau 11,13 persen dari total nilai ekspor non-migas. Dalam periode Januari-Mei 2008 nilai ekspor CPO dan produk turunannya sudah mencapai US$ 7,1 miliar atau 15,9 persen dari total nilai ekspor non-migas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar