Kondisi
Perekonomian Indonesia
Kondisi perekonomian dunia
dikhawatirkan akan benar-benar menuju jurang resesi jika tidak segera dilakukan
upaya-upaya konkrit untuk mengatasi keadaan ini. Perkembangan harga minyak
dunia cenderung terus melonjak bahkan sempat melampaui US$ 145 per barrel,
sementara harga komoditi pangan juga terus meningkat. Hal ini menyebabkan
ancaman stagflasi – yaitu situasi dimana pertumbuhan ekonomi sangat lamban,
tetapi diikuti oleh tingkat inflasi yang sangat tinggi – bisa menjadi
kenyataan. Perekonomian dunia diprediksi hanya akan tumbuh sekitar 1,8 persen
pada tahun 2008, yang merupakan suatu penurunan yang cukup drastis dibandingkan
dengan angka pertumbuhan sebesar 3,8 persen pada tahun 2007. Sementara itu
akibat krisis keuangan dan krisis perumahan di Amerika Serikat, berbagai faktor
lain juga bermunculan mengiringi ketidakseimbangan global. Terus anjloknya kurs
dollar Amerika Serikat dan memburuknya krisis kredit di negara-negara industri
semakin memperburuk keadaan dan menyebabkan perekonomian dunia berada dalam
ketidakpastian yang mengkhawatirkan. Meskipun beberapa negara di Eropa dan
Jepang, serta sejumlah negara berkembang bisa tetap menjadi mesin pertumbuhan
ekonomi dunia, namun dampak penurunan perekonomian Amerika Serikat tetap cukup
besar dalam mempengaruhi perekonomian global akibat contagion effect pada
banyak negara di dunia.
Dalam
hal perekonomian nasional, meskipun dampak sosial kenaikan harga BBM pada 24
Mei 2008 tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi negara secara keseluruhan,
namun dampaknya terhadap perekonomian sangatlah besar. Tingkat inflasi
diperkirakan akan mencapai double digit, yaitu sekitar12,5 persen, di
saat daya beli masyarakat masih dalam kondisi sangat tertekan akibat
melonjaknya harga komoditi pangan akhir-akhir ini. Tingkat pertumbuhan ekonomi
dipastikan tidak akan mencapai target APBN sebesar 6,4 persen, tetapi paling
tinggi akan berada di sekitar 6 persen untuk tahun 2008. Sedangkan APBN tetap
belum bisa dikatakan aman, karena selain masih mengandung beban defisit sebesar
Rp 82,3 triliun untuk tahun 2008, juga tetap dibayang-bayangi oleh kenaikan
harga minyak
dunia yang masih terus bergejolak
hingga saat ini. Adanya kekhawatirkan bahwa harga minyak mentah dunia bisa
menembus angka US$ 200 per barrel di akhir tahun 2008 bukanlah suatu hal yang
berlebihan, melihat kondisi kondisi pasar uang dan pasar komoditi dunia yang
semakin tidak terkendali akhir-akhir ini.
Meskipun pada triwulan I 2008
pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 6,3% secara year on year, namun
secara triwulanan hanya tumbuh sekitar 2,1 persen terhadap triwulan IV 2007.
Pertumbuhan ekonomi tersebut hanya bertumpu pada kegiatan ekspor, karena dari
empat komponen pengguna Produk Domestik Bruto (PDB) hanya ekspor yang tercatat
positif, yaitu sekitar 5,7 persen. Sedangkan investasi fisik (Pembentukan Modal
Tetap Bruto) mengalami kontraksi sekitar 0,6 persen, dan pengeluaran konsumsi
masyarakat turun sekitar 0,4 persen akibat turunnya daya beli di awal tahun
2008 ini.
Sementara
itu secara sektoral, pendukung utama pertumbuhan adalah sektor pertanian, yang
tumbuh sebesar 18 persen pada triwulan I 2008 (terhadap triwulan IV 2007).
Sedangkan sektor industri pengolahan mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar
-0,1 persen, meskipun secara year on year (triwulan I 2008 terhadap
triwulan I 2007) menunjukkan pertumbuhan sekitar 1,2 persen. Tingginya
pertumbuhan pada sektor pertanian dimungkinkan tidak saja karena faktok musiman
(terjadinya panen raya pada bulan Maret), tetapi juga didukung oleh kenaikan
harga komoditas pertanian dan perkebunan yang melonjak secara sangat berarti.
Tekanan
eksternal, kenaikan harga BBM, dan gangguan pasokan barang-barang kebutuhan
pokok telah mengakibatkan kenaikan inflasi telah mencapai angka dua digit pada
akhir bulan Juni lalu. Pada Juni 2008
angka inflasi mencapai 2,46 persen, sehingga secara kumulatif pada Januari-Juni
2008 telah mencapai 7,37 persen, dan inflasi year on year
tercatat sebesar 11,03 persen.
Laju inflasi yang tinggi terutama disumbang oleh kelompok pengeluaran Transpor,
Komunikasi, dan Jasa Keuangan yang mencatat inflasi sebesar 8,72 persen pada
bulan Juni 2008. Kemudian diikuti oleh kelompok bahan makanan dan kelompok
makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau, dimana laju inflasi pada kedua
kelompok pengeluaran ini pada bulan Juni 2008 masing-masing mencapai 1,28
persen dan 1,33 persen.
Inflasi
Bulanan, Tahun Kalender, Year on Year,
Tahun
2006–2008
Inflasi
|
2006
|
2007
|
2008
(2007=100)
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
1. Juni
|
0,45
|
0,23
|
2,46
|
2. Januari–Juni
(Tahun Kalender)
|
2,87
|
2,08
|
7,37
|
3.
Juni terhadap Juni
(year on year)
(tahun n) (tahun n-1)
|
15,53
|
5,77
|
11,03
|
Meskipun mengalami sedikit tekanan akibat
terjadinya gejolak pada pasar modal dalam dan luar negeri, secara keseluruhan
kurs rupiah tidak berfluktuasi secara berlebihan sampai pertengahan bulan Juli
ini. Sebagai lembaga yang bertugas menjaga laju inflasi dan menjaga stabilitas
kurs mata uang rupiah, Bank Indonesia berhasil menjaga nilai rupiah pada level
yang cukup kredibel dalam pandangan para pelaku ekonomi. Dalam menjaga rupiah,
Bank Indonesia terus melakukan intervensi terhadap kurs rupiah demi kenyamanan
para eksportir dan para importir melakukan kegiatan usahanya.
Selain itu
Bank Indonesia juga telah mengantisipasi kemungkinan dampak dari naiknya
inflasi akibat kenaikan harga BBM. Dalam menjaga kemungkinan melonjaknya
inflasi tersebut, Bank Indonesia telah tiga kali menaikkan suku bunga acuan BI-rate
sejak bulan Mei lalu, sehingga dewasa ini BI-rate kembali berada
pada level 8,75 persen. Hal ini diharapkan dapat menahan keluarnya dana dari
Indonesia, yang berpotensi menurunkan kurs rupiah jika suku bunga riil dalam
negeri mengalami penurunan. Dengan suku bunga BI-rate sebesar 8,75
persen dan laju inflasi sebesar 11,03 persen, saat ini suku bunga riil di
Indonesia memang sudah menjadi negatif.
Sempat melemahnya rupiah ke
level Rp 9.376 per dollar AS pada 27 Mei lalu sempat menimbulkan kekhawatiran
di kalangan pelaku ekonomi. Kekhawatiran terhadap terganggunya stabilitas
moneter muncul bersamaan dengan meningkatnya angka inflasi pada bulan Mei lalu.
Untungnya, Bank Indonesia kembali berhasil membawa kurs rupiah ke tingkat yang
lebih aman. Intervensi pasar terhadap rupiah berkali-kali dilakukan demi
terjaganya nilai rupiah yang realistis, meskipun kebijakan ini membawa
konsekuensi pada menurunnya cadangan devisa. Posisi cadangan devisa yang pada
23 Mei 2008 tercatat sebesar US$ 58,8 miliar, turun hampir sebesar 2 miliar
pada 6 Juni 2008 lalu, yaitu menjadi US$ 56,9 miliar. Untungnya kembali meningkat menjadi sekitar US$ 59,5 miliar pada akhir Juni
2008 lalu.
Sementara itu, terus
menurunnya kinerja pasar modal Indonesia sejalan dengan menurunnya kinerja
pasar modal global. Sejak 20 Juni 2008 indeks Dow Jones terus terkoreksi tajam,
sehingga pada 9 Juli 2008 berada pada level 11,147.44, atau mengalami penurunan
sebesar 11,8 persen terhadap level 12,638.32 pada akhir Mei 2008. Dalam kurun
waktu yang sama indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia juga
mengalami penurunan sebesar 6,48 persen, yaitu dari 2,444.35 pada akhir Mei
2008 menjadi 2,286.03 pada 9 Juli 2008 lalu. Selain dipengaruhi oleh melemahnya
bursa global, penurunan IHSG juga dipengaruhi oleh reaksi negatif pasar
terhadap tingginya tingkat inflasi dalam dua bulan terakhir ini. Angka inflasi
yang mencapai 1,41 persen pada bulan Mei dan sebesar 2,46 persen pada bulan
Juni lalu telah menimbulkan kekhawatiran pada para pelaku pasar.
Selain itu,
naiknya suku bunga SBI dan suku bunga deposito yang ditawarkan sektor
perbankan, diperkirakan juga telah merubah portolio investasi di kalangan para
investor. Yaitu dengan mengalihkan sebagian dananya dari pasar modal ke
deposito atau obligasi.
Terjadinya defisit sebesar US$
524,1 juta pada neraca perdagangan di bulan April 2008 lalu cukup
memprihatinkan. Defisit ini dipicu oleh turunnya kinerja ekspor nasional
ditengah tingginya harga minyak dan beberapa harga komoditas dunia. Padahal
pada bulan sebelumnya neraca perdagangan masih mencatat surplus sebesar US$
1,89 miliar. Defisit yang terjadi pada April 2008 disebabkan nilai total ekspor
hanya mencapai US$ 10,97 miliar atau turun sekitar 7,8 persen dari nilai ekspor
pada Maret 2008 sebesar US$ 11,9 miliar. Sementara nilai impor meningkat
sebesar 14,9 persen dibandingkan impor bulan Maret 2008, yaitu dari US$ 10,01
miliar menjadi US$ 11,50 miliar.
Untungnya, sejalan dengan
meningkatnya volume ekspor minyak mentah dan hasil minyak masing-masing sebesar
18,63% dan 18,31%, nilai ekspor kembali meningkat secara berarti pada bulan Mei
lalu. Pada bulan Mei 2008, nilai ekspor mencapai hampir US$ 12,888 miliar atau
naik sekitar 17,5 persen terhadap nilai ekspor bulan April 2008. Dengan nilai impor
sekitar US$ 11,658 milar maka pada bulan Mei 2008 neraca perdagangan Indonesia
kembali mencatat surplus sebesar US$ 1,23 miliar.
Surplus tersebut diperoleh dari
surplus neraca perdagangan non migas yang mencapai US$ 1,283 miliar, karena
neraca perdagangan migas mulai mencatat defisit sebesar US$ 52,7 juta. Hal ini menunjukkan bahwa era migas telah menjadi masa
lalu bagi perekonomian Indonesia. Dewasa ini kinerja ekspor Indonesia
terselamatkan oleh lonjakan harga minyak sawit mentah (CPO), yang menyebabkan
komoditi ini menjadi penyumbang utama ekspor non-migas Indonesia. Pada tahun
2007 nilai ekspor CPO dan produk turunannya mencapai US$ 10,23 miliar atau
11,13 persen dari total nilai ekspor non-migas. Dalam periode Januari-Mei 2008
nilai ekspor CPO dan produk turunannya sudah mencapai US$ 7,1 miliar atau 15,9
persen dari total nilai ekspor non-migas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar